Jalan Hamdan
Aku,
Hamdan Zulfa dikenal sebagian orang sebagai sosok yang adil dan bijaksana. Karena itu lah aku dipilih menjadi ketua
Mahkamah Konstitusi (MK) menggantikan ketua terdahulu bapak Akil Muhtar. Aku merupakan hakim termuda serta diyakini
bisa memulihkan nama baik Mahkamah Konstitusi yang sempat tercoreng oleh kasus
yang dibuat oleh bapak Akil Muhtar.
***
Aku
menghabiskan masa kecil di Parodo, sebuah desa yang terletak sekitar 50 km dari
Kota Bima, NTB. Seperti biasa, pagi ini
aku berangkat ke sekolah bersama Bung Ahmad .
Setelah sebelumnya kami mengaji di surau dengan ’’ama’’ (Bapak).
Aku yang terpaut 7 tahun dengan Bung Ahmad tidak mengurangi keakraban
kami, umurku yang sekarang menginjak 10 tahun dan duduk di kelas 4 SDN4 selama
Nae Bima, sedangkan Bung Ahmad berumur 17 tahun dan duduk di kelas 11 MA AIN,
Bima. Sebelum berpisah di ujung
jalan sekolahku, aku mencium tanganya
seperti biasa.
“
Sekolah yang baik ya Budi, saya jalan lagi..” ujarnya seraya tersenyum
kepadaku.
“
Baik Bang, hati-hati, sampai jumpa..” jawabku.
“
Sampai jumpa.”
Siang
ini, nampaknya langit sedang sedih, karena, tidak biasanya turun hujan di siang
hari seperti ini. Padahal, aku dan Bung
Ahmad ingin mengumpulkan kayu bakar di hutan seperti biasa. Tapi karena hujan, maka aku, Bung Ahmad dan
kedua saudaraku yang lain. Hanya dirumah
saja, mengerjakan tugasbguru dan biasa berbincang-bincang demgan ama.
Sore
ini, kami hanya bersantap dengan telur dan nasi, karena hanya ada sebuah telur,
maka ina (ibu) membagi sebuah telur menjadi 4 untuk kami. Setelah makan,aku dan saudaraku yang lain
mengaji di surau samping rumah dan salat.
***
Aku seperti biasa berangkat ke gedung tempatku
bergelut dengan kasus-kasus Negara. Hari
ini adalah pengangkatanku menjadi ketua MK setelah sebelumnya Pak Akil, sosok
yang aku segani ternyata tak sebalik yang ku pikirkan. Beliau tersandung kasus suap yang menyebabkan
beliau di vonis seumur hidup dan aku menggantikan beliau sebagai ketua MK dari
8 hakim yang tersisa, dengan wakil ketua Pak Arif Hidayat. “ Demi Allah saya bersumpah, bahwa saya akan
memenuhi kewajiban sebagai ketua MK dengan sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya. Memegang teguh UUD 1945
dan menjalankan segala peraturan perundangan dengan selurus-lurusnya menurut
UUD 1945 serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”. Janjiku ketika pengambilan sumpah.
Setelah
pemilihan presiden dilaksanakan tanggal 9 April 2014 yang diumumkan hasilnya
tanggal 22 juli 2014 dengan Pak Joko Widodo sebagai pemenang, dimulailah
perseteruan pihak yang kalah yaitu Prabowo-Hatta. Mereka melopor ke MK pada tanggal 25 juli
2014. Tim Prabowo melapor adanya
sejumlah kecurangan pilpres 2014.
“Pak,
kami menerima permohonan dari Tim Prabowo-Hatta.” ujar petugas penerima
permohonan saat sedang melakukan rapat di gedung MK.
“Apa
saja bukti yang mereka bawa?”
“Mereka
membawa 66 bukti, P1 sampai P66.” Jawabnya.
Dan,
dimulailah perjalanan yang akan ku tempuh bersama teman-teman di Mahkama
Konstitusi.
12
Agustus 2014
Sepertinya
matahari siang ini sedang gembira, di ruang sidang MK ini, aku sedang
mengadakan sidang atas kasus Prabowo-Hatta atau sengketa pilpres dengan suasana
yang tegang.
“
Jadi kapan dilaksanakan pemungutan suara? ” tanyaku pada seorang saksi yang
bernama Novela Nawipa.
“
9 juli pak ” Jawab Novela
“
pelaksanaanya pada pukul berapa? ” tanyaku lagi.
“
Tidak tahu pak, karena di distrik saya tidak ada proses pemungutan suara.”
“
Tadi tanggal 9 itu apa?”
“
Itu ditempat lain. Saat itu saya berada
di kampung dan tidak lihat ada TPS”
“
Tidak ada. Saya tidak bisa terangkan,
karena tidak ada yang bisa saya terangkan.” Tambahnya.
“
Bagaimana suasana di distrik saat itu ?” Kali ini hakim Patrialis Akbar lah
yang bertanya.
“
Jangan Tanya ke saya karena saya juga masyarakat, tanyanya ke penyelanggara
pemilu!” cetusnya.
Mendengar
seperti itu, Hakim Patrialis menanggapi santai.
“
Tidak apa-apa, saya suka gaya anda seperti ini lanjutkan terus ya. Ini gaya
Kartini masa kini ” ujar Hakim Patrialis sambil tersenyum. Novela balas tersenyum.
“
Berapa jarak antara desa dengan distrik anda ?” tanya Hakim Arif Hidayat.
“
300 kilometer !” jawab Novela spontan.
Hakim
Arif terbelalak yang membuat Novela langsung
meralat pertanyaannya.
“
300 kilometer, eh 300 meter. Saya
manusia pak, pasti punya salah ngak apa-apa” ucap Novela tertawa.
Aku
dan Hakim yang lain pun tertawa mendengarnya.
“
Apakah anda sebagai saksi mandate distrik mengetahui ada kegiatan lain di
distrik lain dengan jarak-jarak yang tidak terlalu jauh itu? ” tambah Hakim
Arif
“
Saya tidak mau bicara kampong lain, saya maunya di kampung saya.” Jawab Novela.
Karena
bingung ingin bertanya apa lagi, maka Hakim Arif punmenjadi sesi Tanya jawab.
“
Saya bisa kacau.” Celetuk Hakim Arif.
“
Ya Bapak kacau, saya juga kacau.” Tutup Novela. Yang membuat semua orang di
ruang sidang tertawa.
***
21
Agustus 2014
Setelah
melakukan analisa kasus sangketa pilpers, kami telah memutuskan hasilnya. Tetapi diluar sana, massa sedang melakukan
aksi kerusuhan. Jadilah kami menunda
pembacaan petugas.
“
Kenapa terus menunda putusan Pak?” Tanya Hakim Arif Hidayat.
“
Karena apabila, putusan dibacakan saat ini, maka massa pendukung yang kalah
akan menambah kerusuhan yang diperbuatnya.” Jawabku.
“
Baiklah, artinya jika dibacakan sore nanti, perusuh itu sudah lelah ya pak ?”
gurau Hakim Arif.
“
Iya betul sekali Pak.” Jawabku sambil tersenyum.
Sore
menjelang malam, Aku dan hakim yang lain mengumumkan hasil putusan.
“
Dalam pokok permohonan, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya.” Ucapku di
ruang sidang pleno MK.
“
Seluruh dalil pemohon yang menyatakan pelanggaran yang terstruktur, sistematis
massif pada pilpers 9 juli 2014 tidak
terbukti.” Tambahku . Maka, putusan ini juga
mendukung Joko Widodo dan Jusuf Kalla
sebagai presiden dan wakil presiden terpilih 2014-2019 atas keputusan KPU.
Aku
bersama hakim MK lainnya memutuskan putusan ini dengan sebaik-baiknya untuk
meneguhkan kepercayaan masyarakat pada Mahkamah Konstitusi (MK).
Pasalnya, kalau keputusan yang ditetapkan berbeda dengan nalar awam masyarakat,
dikhawatirkan tingkat kepercayaan masyarakat akan semakin menipis.
Sebaliknya, kepercayaan masyarakat akan kembali kokoh jika keputusan yang
diambil sejalan dengan persepsi publik dan sesuai dengan prinsip-prinsip
keadilan.