Most Wanted :)

Kamis, 26 Maret 2015

CERPEN TOKOH : Hamdan Zulfa (karya Evi Niswatun Solikhah)



Jalan Hamdan

Aku, Hamdan Zulfa dikenal sebagian orang sebagai sosok yang adil dan bijaksana.  Karena itu lah aku dipilih menjadi ketua Mahkamah Konstitusi (MK) menggantikan ketua terdahulu bapak Akil Muhtar.  Aku merupakan hakim termuda serta diyakini bisa memulihkan nama baik Mahkamah Konstitusi yang sempat tercoreng oleh kasus yang dibuat oleh bapak Akil Muhtar.
***
Aku menghabiskan masa kecil di Parodo, sebuah desa yang terletak sekitar 50 km dari Kota Bima, NTB.  Seperti biasa, pagi ini aku berangkat ke sekolah bersama Bung Ahmad .  Setelah sebelumnya kami mengaji di surau dengan ’’ama’’  (Bapak).  Aku yang terpaut 7 tahun dengan Bung Ahmad tidak mengurangi keakraban kami, umurku yang sekarang menginjak 10 tahun dan duduk di kelas 4 SDN4 selama Nae Bima, sedangkan Bung Ahmad berumur 17 tahun dan duduk di kelas 11 MA AIN, Bima.  Sebelum berpisah di ujung jalan  sekolahku, aku mencium tanganya seperti biasa.
“ Sekolah yang baik ya Budi, saya jalan lagi..” ujarnya seraya tersenyum kepadaku.
“ Baik Bang, hati-hati, sampai jumpa..” jawabku.
“ Sampai jumpa.”
Siang ini, nampaknya langit sedang sedih, karena, tidak biasanya turun hujan di siang hari seperti ini.  Padahal, aku dan Bung Ahmad ingin mengumpulkan kayu bakar di hutan seperti biasa.  Tapi karena hujan, maka aku, Bung Ahmad dan kedua saudaraku yang lain.  Hanya dirumah saja, mengerjakan tugasbguru dan biasa berbincang-bincang demgan ama.
Sore ini, kami hanya bersantap dengan telur dan nasi, karena hanya ada sebuah telur, maka ina (ibu) membagi sebuah telur menjadi 4 untuk kami.  Setelah makan,aku dan saudaraku yang lain mengaji di surau samping rumah dan salat.
***
Aku seperti biasa berangkat ke gedung tempatku bergelut dengan kasus-kasus Negara.  Hari ini adalah pengangkatanku menjadi ketua MK setelah sebelumnya Pak Akil, sosok yang aku segani ternyata tak sebalik yang ku pikirkan.  Beliau tersandung kasus suap yang menyebabkan beliau di vonis seumur hidup dan aku menggantikan beliau sebagai ketua MK dari 8 hakim yang tersisa, dengan wakil ketua Pak Arif Hidayat.  “ Demi Allah saya bersumpah, bahwa saya akan memenuhi kewajiban sebagai ketua MK dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya.  Memegang teguh UUD 1945 dan menjalankan segala peraturan perundangan dengan selurus-lurusnya menurut UUD 1945 serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.  Janjiku ketika pengambilan sumpah.
Setelah pemilihan presiden dilaksanakan tanggal 9 April 2014 yang diumumkan hasilnya tanggal 22 juli 2014 dengan Pak Joko Widodo sebagai pemenang, dimulailah perseteruan pihak yang kalah yaitu Prabowo-Hatta.  Mereka melopor ke MK pada tanggal 25 juli 2014.  Tim Prabowo melapor adanya sejumlah kecurangan pilpres 2014.
“Pak, kami menerima permohonan dari Tim Prabowo-Hatta.” ujar petugas penerima permohonan saat sedang melakukan rapat di gedung MK.
“Apa saja bukti yang mereka bawa?”
“Mereka membawa 66 bukti, P1 sampai P66.” Jawabnya.
Dan, dimulailah perjalanan yang akan ku tempuh bersama teman-teman di Mahkama Konstitusi.

12 Agustus 2014
Sepertinya matahari siang ini sedang gembira, di ruang sidang MK ini, aku sedang mengadakan sidang atas kasus Prabowo-Hatta atau sengketa pilpres dengan suasana yang tegang.
“ Jadi kapan dilaksanakan pemungutan suara? ” tanyaku pada seorang saksi yang bernama  Novela Nawipa.
“ 9 juli pak ” Jawab Novela
“ pelaksanaanya pada pukul berapa? ” tanyaku lagi.
“ Tidak tahu pak, karena di distrik saya tidak ada proses pemungutan suara.”
“ Tadi tanggal 9 itu apa?”
“ Itu ditempat lain.  Saat itu saya berada di kampung dan tidak lihat ada TPS”
“ Tidak ada.  Saya tidak bisa terangkan, karena tidak ada yang bisa saya terangkan.” Tambahnya.
“ Bagaimana suasana di distrik saat itu ?” Kali ini hakim Patrialis Akbar lah yang bertanya.
“ Jangan Tanya ke saya karena saya juga masyarakat, tanyanya ke penyelanggara pemilu!” cetusnya.
Mendengar seperti itu, Hakim Patrialis menanggapi santai.
“ Tidak apa-apa, saya suka gaya anda seperti ini lanjutkan terus ya. Ini gaya Kartini masa kini ” ujar Hakim Patrialis sambil tersenyum.  Novela balas tersenyum.
“ Berapa jarak antara desa dengan distrik anda ?” tanya Hakim Arif  Hidayat.
“ 300 kilometer !” jawab Novela spontan.
Hakim Arif  terbelalak yang membuat Novela langsung meralat pertanyaannya.
“ 300 kilometer, eh 300 meter.  Saya manusia pak, pasti punya salah ngak apa-apa” ucap Novela tertawa.
Aku dan Hakim yang lain pun tertawa mendengarnya.
“ Apakah anda sebagai saksi mandate distrik mengetahui ada kegiatan lain di distrik lain dengan jarak-jarak yang tidak terlalu jauh itu? ” tambah Hakim Arif
“ Saya tidak mau bicara kampong lain, saya maunya di kampung saya.” Jawab Novela.
Karena bingung ingin bertanya apa lagi, maka Hakim Arif punmenjadi sesi Tanya jawab.
“ Saya bisa kacau.” Celetuk Hakim Arif.
“ Ya Bapak kacau, saya juga kacau.” Tutup Novela. Yang membuat semua orang di ruang sidang tertawa.
***
21 Agustus 2014
Setelah melakukan analisa kasus sangketa pilpers, kami telah memutuskan hasilnya.  Tetapi diluar sana, massa sedang melakukan aksi kerusuhan.  Jadilah kami menunda pembacaan petugas.
“ Kenapa terus menunda putusan Pak?” Tanya Hakim Arif  Hidayat.
“ Karena apabila, putusan dibacakan saat ini, maka massa pendukung yang kalah akan menambah kerusuhan yang diperbuatnya.” Jawabku.
“ Baiklah, artinya jika dibacakan sore nanti, perusuh itu sudah lelah ya pak ?” gurau Hakim Arif.
“ Iya betul sekali Pak.” Jawabku sambil tersenyum.
Sore menjelang malam, Aku dan hakim yang lain mengumumkan hasil putusan.
“ Dalam pokok permohonan, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya.” Ucapku di ruang sidang pleno MK.
“ Seluruh dalil pemohon yang menyatakan pelanggaran yang terstruktur, sistematis massif  pada pilpers 9 juli 2014 tidak terbukti.” Tambahku .  Maka, putusan ini juga mendukung Joko Widodo dan Jusuf  Kalla sebagai presiden dan wakil presiden terpilih 2014-2019 atas keputusan KPU.
Aku bersama hakim MK lainnya memutuskan putusan ini dengan sebaik-baiknya untuk meneguhkan kepercayaan masyarakat pada Mahkamah Konstitusi (MK).

Pasalnya, kalau keputusan yang ditetapkan berbeda dengan nalar awam masyarakat, dikhawatirkan tingkat kepercayaan masyarakat akan semakin menipis.

Sebaliknya, kepercayaan masyarakat akan kembali kokoh jika keputusan yang diambil sejalan dengan persepsi publik dan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar